Pengantar
Jawaban atas pertanyaan seperti pada judul tulisan ini oleh
sebagian orang dipercayai telah disediakan dengan memadai oleh kekristenan.
Tidak jarang rujukan utama yang digunakan untuk membicarakan perihal Yesus,
salah satu tokoh berpengaruh di dunia ini, ialah melalui informasi alkitab.
Empat injil dipercayai ampuh dan lebih dari cukup untuk menghantar orang banyak
kepada pengenalan akan sosok Yesus. Tradisi pemikiran tersebut bahkan telah
melintasi jaman ke jaman. Hingga hari ini apabila secara seksama diperhatikan,
maka dapat ditemukan dengan mudah keyakinan tersebut masih dipertahankan.
Permasalahan seputar Yesus sebagai Sosok
Pertanyaan seputar Yesus, tidak hanya semata-mata terkait
biografinya atau genealoginya saja. Sosok Yesus juga didekati terutama dalam
ketegangan antara keyakinan Ia sebagai seorang manusia (humanitas) dan sebagai
Anak Allah (divinitas). Dua kutub tersebut terus menggoda manusia dari waktu ke
waktu untuk memberikan pandangan, komentar, bahkan pembelaan terhadap kenyataan
itu.
Yesus secara historis ialah seorang personal yang pernah
eksis dalam perjalanan sejarah manusia. Hanya saja seperti yang telah saya
katakan sebelumnya, sosok Yesus bagaimanapun menggoda banyak orang untuk
membahasnya. Jika anggapan tradisional dan awam sangat menekankan sosok Yesus
semata-mata digali dari dalam narasi injil, maka ada banyak orang juga yang
mulai melihat kehadiran Yesus dan eksistensi-Nya melalui upaya tidak begitu
saja menerima isi narasi tentang-Nya.
Dalam studi perjanjian baru misalnya, paroh akhir abad 20
muncul suatu upaya studi yang disebut sebagai memahami Yesus Sejarah. Seorang Profesor bernama Robert Funk pada tahun 1985
membentuk suatu kelompok yang diberi nama Yesus
Seminar. John Dominic Crossan sebagai salah seorang pentolan dalam kelompok
itu bersama dengan anggota kelompoknya telah menyelidiki misalnya otensitas
perkataan Yesus dalam alkitab yang menurut mereka hanya 18% orisinal (90 kata).[1]
Meski demikian Karman memberikan evaluasi kritis terhadap kajian para ahli
Yesus Seminar. Ia mengajukan 5 bantahan yaitu dengan (1) mempertanyakan upaya
membandingkan keempat injil dengan teks yang sama-sama religius dan bukan teks
yang benar-benar historis tentang biografi Yesus, (2) mengingatkan bahwa
alkitab tidak bisa dilepaskan dari historisitas Yesus sebab alkitab bukan buku
kumpulan etika tetapi suatu catatan akan menubuhnya Allah menjadi manusia, (3)
teks di luar kanon seharusnya diperlakukan sebagai pembanding bukan teks
sederajat dengan teks kanon, (4) tidak ada otoritas yang mampu mendeterminasi
apakah ada batas iman kepada Yesus apakah ia separuh Yesus historis dan separuh
gambaran tentang Yesus. Karman mempertanyakan apakah hasil kajian Yesus Seminar
ialah suatu karya purely historical ataukah hanya penolakan modernitas atas
iman tradisional berjubah penelitian akademik? (5) Paul Barnet tahun 1997
melakukan studi yang meninjau injil sebagai biografi dengan memperhatikan
sumber-sumber yang meyinggung tentang Yesus dalam berbagai surat kirim di masa
PB.[2]
Anggapan para ahli dalam Yesus Seminar sebenarnya bukan
perkara baru. Sejak jaman Yesus hidup pun perihal status Yesus dalam
divinitas-Nya sudah pertanyakan. Bahkan kelompok kristen mula-mula sebelum
Proto Ortodoks menjadi agama resmi Romawi memiliki pandangan yang berbeda
tentang keilahian Yesus. Dalam konteks manusisa dewasa ini yang hidup
berdekatan dengan masa Yesus Seminar bekerja, upaya memahami Yesus secara
objektif ialah cita-cita yang dianggap tak terhindarkan. Yesus Seminar
terlanjur yakin bahwa injil telah tercampur antara fakta dengan fiksi sehingga
mereka berupaya menyeleksi mana yang dalam narasi tersebut ialah otentik Yesus
dalam kesejarahaan-Nya. Lagipula memperhatikan bahwa Yesus terlalu membabi-buta
didekati secara teologis membuat para sarjaan Yesus Seminar seolah gerah.
Sampai pada titik ini nampak ada kubu yang ingin memisahkan antara Jesus of History dengan Christ of Faith.[3]
Dua orang begawan teologi Kristen yaitu Karl Barth dan
Rudolf Bultmann berpendapat bahwa upaya para arkeologis-eksegetis untuk mencari
jejak-jejak historisitas Yesus ialah upaya sia-sia. Menurut mereka injil ialah
tulisan yang perlu diimani tanpa dipersoalkan historisitasnya.[4]
Upaya untuk secara intelektual menjelaskan dan mengklaim historisitas Yesus
ialah tidak penting bagi iman kristen. Keduanya tidak menafihkan bahwa ada
kemungkinan jika isi injil tidak historis.
Albertus Sujoko mencoba memperluas pikiran Walter Kasper
yang membantah baik Barth maupun Bultmann. Sujoko menegaskan bahwa melalui
jejak biblis maka dapat ditemukan penegasan bahwa Yesus benar manusia, Ia putra
Allah, dan status divinitas Yesus bukan konstruksi Helenisme.[5]
Dalam posisi demikian nampak upaya keras untuk mempertahankan status keilahian
Yesus sedemikan rupa sebab tuduhan bahwa injil adalah dongeng belaka yang
diikuti oleh penjelasan rasional tentu berbahaya bagi iman.
Orang Kristen mau Apa?
Upaya untuk membela dan “menyerang” Yesus terutama dalam
keilahian-Nya sekaligus kemanusiaan-Nya menjadi cukup populer dalam pergulatan
dunia teologi. Namun saya sendiri memerhatikan bahwa upaya-upaya itu sudah
selalu terkurung dan berangkat dari pengandaian dasarnya masing-masing. Dalam
hal ini misalnya dalam semangat modernitas yang mempertanyakan segala sesuatu
terkait klaim keimanan, tentu para pembaca dan penikmat karya sarjana dalam
terang itu harus mampu mendudukan epistemologi dari klaim yang mereka gunakan.
Mengatakan bahwa Yesus harus didekati secara objektif, historis, atau bahkan tanpa
mistis sama sekali misalnya, jangan ditanggapi sebagai sebuah pernyataan yang
mengganggu iman atau bahkan bidah. Justru pemeriksaan lebih lanjut atas dasar
asumsi itu dan sikap tak menerima klaim itu secara taken for granted ialah sikap yang lebih memadai ketimbang
menubrukanya dengan keimanan.
Salah satu ciri utama yang dijadikan dasar klaim baik
mereka yang membela sosok Yesus maupun yang mempermasalahkan-Nya ialah sudah
selalu berangkat empirisme. Keduanya mencoba secara empirik membuktikan
masing-masing klaimnya terhadap Yesus. Dalam pada ini dapat dipahami jika
keduanya tidak pernah bicara Yesus secara per
se. Upaya Kasper dalam membantah Barth ialah juga berangkat dari dalam
narasi tentang Yesus. Saya sendiri berpendapat bahwa mendeterminasi bahwa narasi
injil ialah Yesus per se ialah suatu
tindakan yang tak mungkin. Pemahaman orang banyak tentang Yesus ialah suatu
seni yang memberikan bagi mereka banyak ruang untuk memahami-Nya. Memahami
Yesus yang pernah ada dalam sejarah ialah sebuah seni kemungkinan tetapi bukan
spekulasi membabi-buta.
Penutup
Rupanya terang modernisme yang hinggap pada para sarjana
teologi yang ingin memperlakukan narasi injil seobjektif mungkin telah disadari
memiliki banyak kelemahan. Metode-metode yang diandaikan dapat baku menentukan
hasil yang relatif mirip sebagai bagian dari objektifitas menurut saya akan
sangat sulit diterapkan pada narasi yang memang memiliki dimensi dinamis bagi
kehidupan.
Oleh sebab itu, sebagai pembelajar teologi, ialah suatu
imperatif untuk memperluas cakrawala wawasan teologi agar upaya memahami Yesus
dapat jauh lebih komprehensif. Dengan kata lain memperlakukan teks sebagai
sumber pelajaran tentang Yesus menuntut setiap sarjana teologi untuk tidak
tenggelam dalam kemalasan dogmatis bahwa Yesus diterima secara ideologis belaka
sebab alkitab sudah cukup bicara tentang Yesus, tetapi juga tidak terbuai arus
zaman yang begitu saja menolak totalitas pemahaman sebelumnya tentang Yesus.
*Tulisan ini saya sampaikan pada diskusi ringan Kelompok Bona Fide di Salatiga.
Albert Josua P. Maliogha
[1] Mereka meneliti
teks-teks injil baik kanon maupun di luar kanon secara sederajat dan
menyimpulkan bahwa dari seluruh teks yang memuat perkataan Yesus, hanya 90 kata
yang orisinal keluar dari mulut Yesus. Lih.
Yonky Karman, Bunga Rampai Teologi
Perjanjian Lama (Jakarta: Gunung Mulia), 1-5.
[2]
Yonky Karman, Bunga Rampai.
[3]
Yonky Karman, Bunga Rampai.
[4]
Albertus Sujoko, Identitas Yesus &
Misteri Manusia (Yogyakarta: Kanisius), 192-193.
[5]
Albertus Sujoko, Identitas Yesus &
Misteri Manusia, 193-219.
0 komentar:
Posting Komentar