Tanggal 30 November 2013 tahun lalu genap sudah Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW)
berusia 57 tahun. Bukan usia yang muda kalau
kita mau sedikit melihat kebelakang. Dalam rentang waktu yang lama itu, Saya berpikir bahwa banyak hal yang UKSW telah
lalui.
Hal-hal yang membesarkanya dalam suka-duka juga pahit-manis silih
berganti mewarnai waktu-waktu hidupnya.
Selagi memikirkan perjalanan UKSW yang begitu lama,
pikiran saya tiba-tiba melayang tertuju kepada pertanyaan apa saja sih yang membuat kampus ini terus hidup.
Idealisme? Tentu Ya, idealisme yang membuat kampus ini terus berjalan dalam
jalurnya. Tuhan? Apalagi itu, jika bukan karena Tuhan yang memelihara maka
kampus ini saya pikir sudah lama bubar. Kalau saja Tuhan pergi meninggalkan
kampus ini maka Dies Natalis tahun ini pasti tidak ada! Tapi, selain kedua hal
itu ada pastinya ada juga hal lain yang membuat UKSW tetap ada.
Oh ia, hampir saya melupakan bahwa yang membuat UKSW tetap
ada hingga kini tentu juga manusia-manusianya. Orang-orang yang hidup dan
menghidupi UKSW yang tidak kalah berperan penting memastikan barang itu (baca: UKSW)
tetap ada. Sederhananya tanpa ada manusia di UKSW ngapain UKSW repot-repot ada. Syukur kepada Tuhan jika saya tidak
sempat melupakan hal ini.
Jadi, memang manusia-manusia di UKSW benar-benar penting
dalam keberlangsungan UKSW, selain campur tangan Tuhan tentunya. Tapi, kali ini
saya kira simpan dulu Tuhan di surga. Kita bicara UKSW dari sisi peran manusia-manusia
itu saja dulu. Sebab, tanpa kita bicarakan pun Tuhan tidak akan tinggalkan
UKSW. Itu yang saya secara pribadi percayai.
Nah, tentang
peran manusia-manusia
di UKSW. Ide yang tentu tidak bisa dianggap remeh untuk dipikirkan. Jika mau
berpikir tentang peran tersebut, maka pertanyaanya: Siapa saja manusia-manusia itu? lalu peran yang seperti apa? Bagaimana
peran itu dilakoni? Juga mengenai: apa dampak peran itu bagi UKSW sendiri?
Masih banyak lagi pertanyaan lain tapi tidak perlu serakah dengan banyak
pertanyaan. Fokus saja dulu menemukan jawaban beberapa pertanyaan yang sudah
ada.
Mari saya ajak
melihat sebenarnya siapa saja manusia-manusia itu?
Kalau mau jujur manusia-manusia itu gampangnya seluruh
sivitas akademika UKSW. Mau itu dari setiap Mahasiswa UKSW, dosen, pegawai,
sampai kepada Rektor dan Pembantu-pembantunya, ya itulah yang disebut
manusia-manusia UKSW. Tanpa terkecuali semua sivitas akademika dapat disebut
demikian, yaitu sebagai manusia UKSW.
Tetapi dari suatu kenyataan yang seolah biasa saja dan
semua orang sudah tahu siapa manusia-manusia UKSW itu, ada hal menarik yang perlu disadari. Hal itu adalah manusia-manusia UKSW tidak homogen. Rupa dan
bentuknya bermacam-macam. Latar belakangnya apalagi, serba majemuk. Gaya bicara
sampai gaya makan saja sudah berbeda. Ada yang suka bicara dengan suara seolah
mulutnya dilengkapi amplifire tapi
ada juga yang kalau ngomong nyaris
berbisik sampai-sampai yang mendengarkannya harus melekatkan telinga dekat-dekat ke mulut si Pembicara. Ada
yang makannya sedikit saja dan merasa sudah kenyang. Ada yang kalau tidak makan
porsi double maka dikira itu belum
makan namanya. Tipe yang terakhir saya salah satunya. Luar biasa “aneh-aneh”
memang kenyataan heterogenya manusia UKSW.
Kalau saja sudah begitu rupa heterogenya
manusia-manusia UKSW tentu harus dapat terima
juga kenyataan bahwa UKSW tidak memiliki keseragaman berpikir pada satu ide
saja. Kalau secara fisik dan segala yang terlihat saja sudah begitu berbeda
maka sudah pasti cara pikirnya berbeda-beda juga. Cara pikir yang berbeda-beda
itu sebenarnya membuat UKSW hidup dalam kekayaan cara pikir. Dalam kekayaan
berpikir itu juga tentu ada yang bisa sependapat dan sebaliknya sama sekali
berbeda pendapat.
Manusia-manusia UKSW tersebut dalam mengaktualisasikan
keberadaanya acap kali mencari manusia yang seselera, sepikir, sepemahaman,
setuju dengan dirinya. Dalam kenyataan kekayaan berpikir itu manusia UKSW
melakukan upaya untuk mencari manusia UKSW lain yang dapat diseragamkan dengan
dirinya pada satu atau dua hal. Hal itu yang kemudian membidani lahirnya
kelompok-kelompok tertentu di UKSW.
Dalam hal ini maka pertanyaan bagaimana peran
manusia-manusia itu dilakoni, terjawab sudah. Peran itu dilakoni salah satunya
melalui keterlibatanya dalam kelompok-kelompok tertentu di UKSW. sekaligus juga
dalam keterlibatan itu manusia-manusia UKSW memainkan peran sesuai dengan
kedudukan dan fungsinya seturut dengan kehadiranya pada kelompok itu.
Apa saja kelompok itu? Banyak, begitu banyak! Sebut
saja kelompok rektorat, kelompok senator, kelompok 14 fakultas, kelompok
program studi, kelompok mahasiswa, kelompok dosen, kelompok pegawai, kelompok diskusi,
kelompok rekan bermain, kelompok bakat dan minat, kelompok manusia-manusia
lembaga kemahasiswaan, kelompok politik. Ups,
nanti dulu. Apa memang ada kelompok yang terakhir di UKSW? Saya sendiri
berpendapat, jika tidak diakui maka hanya ada dua kemungkinan: pertama, hanya
manusia-manusia UKSW yang munafik yang tidak mau mengaku bahwa di UKSW ada
kelompok politik. Kedua, hanya manusia-manusia UKSW yang tidak benar-benar
mengamati dan perduli UKSW yang tidak mengaku bahwa di UKSW ada kelompok politik.
Jadi, kelompok politik di UKSW memang ada. Apabila tidak setuju dengan saya,
coba saja buktikan terbalik.
Saya rasa naif jika mengingkari keberadaan kelompok
politik di UKSW. Kelompok politik di UKSW adalah konsekuensi logis dari
kenyataan heterogen-nya manusia-manusia UKSW. Tidak mungkin tidak bahwa tidak ada
manusia-manusia UKSW yang suka berpolitik. Juga tidak mungkin tidak dalam
kesukaan itu dia tidak mencari manusia-manusia UKSW yang sama suka berpolitik
dengan dirinya.
Buktinya? Sudah bukan rahasia umum kalau banyak
manusia-manusia UKSW menuding bahwa John Titaley itu suka berpolitik. Dalam
kesukaan John Titaley berpolitik itulah kawan-kawannya muncul. Sudah saya
tuliskan dibagian atas bahwa pasti ada satu atau dua orang yang pikirannya
mirip-mirip John Titaley. Bahkan juga pikiran bisa sama sekali setuju dengan
John Titaley. Jadilah kelompok politik John Titaley Cs.
Kemudian, apa hanya John Titaley yang suka berpolitik
di UKSW? ternyata tidak. Meskipun sama-sama suka berpolitik tetap ada manusia-manusia
UKW yang tidak sepaham atau sama sekali tidak mau setuju dengan John Titaley.
Kenyataan itulah yang kemudian melahirkan kelompok politik yang melawan
kelompok John Titaley. Memangnya ada? baca saja berita-berita tentang upaya
menjegal John Titaley menjadi Rektor pada tahun 2009 itu salah satu contohnya.
Sekarang minimal di UKSW hidup dua kelompok politik yang besar yaitu kelompok John
Titaley dan kelompok lawan-lawanya. Kebetulan saja tanggal 30 November 2013,
saat Dies Natalis ke 57 UKSW yang lalu kembali John Titaley terpilih sebagai
Rektor UKSW untuk ketiga kalinya. Saya sisipkan ucapan selamat kepada Prof.
Pdt. Drs. John A. Titaley, Th.D untuk hal itu. Kembali lagi, bahwa dua kelompok
itu ada dan hidup meski secara kasat mata tidak nampak dalam pengamatan
manusia-manusia UKSW yang lain.
Memang saya sendiri bertanya apakah memang hanya dua
kelompok itu saja. Akan tetapi saya berpikir bahwa pembahasan pada kedua
kelompok itu saja sama artinya dengan mulai terjawab pertanyaan terakhir mengenai
dampak keberadaannya bagi UKSW. Hemat saya bahwa kedua kelompok ini sebenarnya
memainkan peran yang berdampak besar bagi UKSW.
Dampaknya? Positif? Ya bisa juga. Negatif? Mungkin
yang ini lebih dominan. Mengapa demikian? Sebab hal itu dapat dirasakan dalam energi dua kutub itu yang tercipta
dalam kehidupan dan perkembangan UKSW. Bahwa saya menilai UKSW kini berada
dalam kungkungan energi negatif yang terlampau besar melebihi energi positif/
dampak positif. Buktinya apa? Buktinya sederhaha, jika anda pernah masuk dalam
kelas dan mendapati ada dosen tertentu yang menjelek-jelekan Rektor
sampai-sampai jam mengajarnya hampir dihabiskan untuk
curhat tentang kebencianya kepada
Rektor, maka itu bukti konkrit. Atau di Fakultas saya, sering dosen Perjanjian
Baru kami menyinggung gesekan-gesekan politik di UKSW melalui cerita dan
plesetan ketika mengajar. Tapi uniknya manusia UKSW yang satu ini suka
menggunakan perumpamaan. Kadang untuk menyinggung Rektor, dia
memberi nama ada Rektor Yohanes di suatu kampus, bla… bla… bla… Dosen itu
mengira kami ini orang bodoh rupanya yang tidak sedang paham benar apa cerita
tidak penting yang sedang dia khotbahkan. Ini juga contoh yang sering kali
muncul.
Dampak negatif yang begitu besar adalah apakah memang
gesekan politik yang membuat manusia-manusia UKSW saling suka tidak suka itu
harus dibawa ke dalam kelas? Kegoblokan semacam itu haruskah diajarkan kepada
manusia-manusia UKSW lainya (baca: mahasiswa)? Dalam hal ini dampak negatif itu
mengakar kuat. Apalagi kalau asupan informasi negatif itu ditelan mentah-mentah
oleh manusia-manusia UKSW yang intelek tapi pekok.
Makin negatif-lah energi yang muncul di UKSW.
Lebih celaka lagi energi negatif itu sudah berubah
wujud dalam kategori-kategori yang makin khusus bentuknya. Sudah menjelma
menjadi rasa benci, menjelma menjadi rasa curiga, menjelma menjadi ambisi untuk
saling menjatuhkan, dan bahkan menjelma menjadi upaya untuk saling mengalahkan
apapun caranya! Saya sendiri kemudian prihatin ketika menyadari hal itu. Saya
membantin apakah memang UKSW harus diselenggarakan dengan kondisi demikian?
Hal itu yang juga menyebabkan jika di UKSW dari waktu
ke waktu manusia-manusianya kerjanya berkelahi saja. Bukan dalam artian kontak
fisik seperti terjadi saat Ontran-ontran 93’-95’ yang memiluhkan itu. Kita
tidak lagi saling berduel fisik tetapi kebencian yang ada dalam hati melebihi
kesakitan secara fisik. Kita tidak membunuh nyawa orang lain tapi kita selalu
berusaha mematikan karakter orang lain. Mau diakui atau tidak tapi saya
menyatakan bahwa hal ini yang hingga sekarang terjadi di UKSW.
Kehadiran kelompok politik seperti yang pro John
Titaley dan yang kontra John Titaley sebenarnya tidak banyak membantu membangun
UKSW jika sikapnya dalam berpolitik masih kekanak-kanakan seperti itu. Tidak
setuju dengan John Titaley maka sepakat tidak mau ikut Rapat Senat Universitas.
Sikap macam apa itu! Tidak pantas diteladani! Padahal kehadiran di Rapat Senat
bukan sekedar datang melawan John Titaley, tetapi membawa aspirasi hidup dari
konstituenya di unit yang diwakilinya berikut seluruh masalah yang terjadi yang
butuh untuk segera diselesaikan.
Juga kelompok John Titaley yang sekarang sedang
dipercayai Tuhan memimpin. Tidak bisa juga donk
menganggap bahwa lawan kelompok mereka adalah pada kedudukan serba salah. Itu
sebuah kemustahilan jika kelompok Titaley yang paling benar dan lawanya selalu
salah. Pada saat tertentu kelompok Titaley bisa benar tetapi pada saat lain
kelompok Titaley juga bisa keliru. `Begitu juga sebaliknya. Tidak mungkin setiap manusia UKSW yang
berada dalam kelompok Titaley adalah manusia yang selalu benar. Bukan tidak
mungkin mereka juga tidak berbeda jauh dengan tipikal lawan-lawan mereka.
Selagi mereka masihlah manusia biasa mereka sudah tentu bisa keliru. Tidak
mungkin juga lawan kelompok Titaley selalu yang paling benar. Sama halnya
dengan kemungkinan manusia-manusia UKSW pada kelompok Titaley bisa keliru,
mereka juga bisa. Nah, dalam kenyataan itu patutkah salah satu atau bahkan
keduanya memutlakan dirinya sebagai yang benar?
Hemat saya tidak patut satu atau bahkan keduanya
memutlakan kebenaran sendiri. Silang pendapat itu wajar dan biasa saja. Bukan
sesuatu yang luar biasa, namun bukan
berarti layak mengklaim kebenaran sendiri.
Apa yang diperjuangkan oleh masing-masing
kelompok tentu memiliki dasar yang kuat. Namun bagi saya perlu diperiksa juga
perjuangan itu berada dalam kemurnian usaha bagi kemajuan UKSW atau bukan. Jika
misalnya perjuangan mati-matian menjaga agar UKSW tetap pada ideal-idealnya
(ini perjuangan yang sangat mulia menurut saya) sebenarnya hanya tameng untuk
menutupi agenda pribadi atas nama perjuangan itu, hal itu tentu memalukan. Hal
lain ialah perlu juga untuk direfleksikan apakah dalam menuding kelompok lain
salah, justru kelompok lainya sudah melakukan kebenaran? Atau malah setali tiga
uang. Menunjuk yang lain pencuri tetapi tanpa banyak orang tahu dia juga
maling. Ini kan juga memalukan.
Di atas semua itu, saya memandang bahwa
tembok pemisah antar kelompok apapun di UKSW harus diruntuhkan. Kampus ini
bukan milik satu orang atau salah satu kelompok. Seperti yang Pak Noto katakan
bahwa “Kampus ini milik Tuhan.” Jangan kita rusak UKSW yang hanya dititipkan
kepada kita dengan tindakan kekanak-kanakan dan konyol. Sudah terlalu lama UKSW
dibesarkan dengan rasa benci akibat tembok-tembok yang memisahkan manusia UKSW
satu sama lain.
Di UKSW bagi saya, baik kelompok Titaley, lawan kelompok Titaley,
ataupun kelompok di luar kedua kelompok itu adalah kotak-kotak suara yang ada
dan hidup. Kotak-kotak suara itu tidak boleh sesekali ditutup oleh siapapun.
Kotak-kotak itu harus dibuka dan didengarkan gaungnya! Jangan pura-pura tuli!
Setuju atau tidak itu bisa dibicarakan
dalam kehangatan kasih untuk menemukan jalan bersama. Yang berkuasa perlu
mendengar yang dikuasai sekalipun itu tidak sejalan. Yang dikuasai peru
memberikan sikap saling menghargai dan menggunakan jalur yang benar dalam
menyampaikan aspirasinya. Bukan dengan tindakan tidak bertanggungjawab misalnya
menghasut manusia-manusia UKSW lainya (baca: Mahasiswa secara khusus).
Mari belajar dari kasus Akil Mocthar dalam
menangani kasus PILKADA Kabupaten Sumba Barat Daya. Sesungguhnya kasus ini
tidak sama tapi mirip-mirip. Suara orang-orang Sumba Barat Daya dalam kotak itu
berteriak berisikan kebenaran yang benar-benar benar tapi diabaikan. Sekarang
lihat dalam upaya penuh kebohongan dengan tidak membuka kotak suara itu
akhirnya Akil Mocthar mendapat getahnya. Apalagi karena kasus itu ada air mata
dan darah yang tumpah!
Jangan sampai UKSW juga menutup kotak-kotak
suaranya. Sebab, suka tidak suka perlu diakui bahwa manusia-manusia UKSW dalam kotak-kota suara
UKSW itu juga turut mencucurkan keringat dan air mata serta bekerja dengan
sepenuh tumpah darah untuk UKSW. Sekalipun, ya, kadang-kadang mereka berbuat
keliru juga. Tetapi bukankah siapa saja
yang berdosa mau diampuni Tuhan? Apa ia manusia yang diampuni Tuhan tidak mau mengampuni sesamanya?
Kembali lagi saya tuliskan bahwa UKSW sudah
terlalu lama dibesarkan dalam kebencian. Hal itu bukanlah sikap yang bisa dipertanggungjawabkan kepada Tuhan yang adalah pemilik
UKSW. Sungguh keterlaluan jika kampus Kristen dibesarkan tanpa kasih sama
sekali ataupun ada kasih tetapi kasih yang hanya untuk ‘sesama-nya’ saja.
Kampus ini akan semakin kerdil juga
tertinggal jika manusia-manusianya hanya sibuk membesarkan diri sendiri. Kampus
ini tidak akan berkembang secara maksimal jika satu dengan yang lainya hanya
sibuk saling tikam-menikam membunuh karakter. Kampus ini akan terus berkurang
mendapat berkat Tuhan karena tidak memberikan kesaksian tentang Kasih sebab
dibesarkan dalam kebencian.
Albert Josua Putra Maliogha-
Mahasiswa Fakultas Teologi UKSW.
0 komentar:
Posting Komentar