Sabtu, 03 Mei 2014

Kotak-Kotak Suara UKSW




Tanggal 30 November 2013 tahun lalu genap sudah Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) berusia 57 tahun. Bukan usia yang muda kalau kita mau sedikit melihat kebelakang. Dalam rentang waktu yang lama itu, Saya berpikir bahwa banyak hal yang UKSW telah lalui.
Hal-hal yang membesarkanya dalam suka-duka juga pahit-manis silih berganti mewarnai waktu-waktu hidupnya.

Selagi memikirkan perjalanan UKSW yang begitu lama, pikiran saya tiba-tiba melayang tertuju kepada pertanyaan apa saja sih yang membuat kampus ini terus hidup. Idealisme? Tentu Ya, idealisme yang membuat kampus ini terus berjalan dalam jalurnya. Tuhan? Apalagi itu, jika bukan karena Tuhan yang memelihara maka kampus ini saya pikir sudah lama bubar. Kalau saja Tuhan pergi meninggalkan kampus ini maka Dies Natalis tahun ini pasti tidak ada! Tapi, selain kedua hal itu ada pastinya ada juga hal lain yang membuat UKSW tetap ada.

Oh ia, hampir saya melupakan bahwa yang membuat UKSW tetap ada hingga kini tentu juga manusia-manusianya. Orang-orang yang hidup dan menghidupi UKSW yang tidak kalah berperan penting memastikan barang itu (baca: UKSW) tetap ada. Sederhananya tanpa ada manusia di UKSW ngapain UKSW repot-repot ada. Syukur kepada Tuhan jika saya tidak sempat melupakan hal ini.
Jadi, memang manusia-manusia di UKSW benar-benar penting dalam keberlangsungan UKSW, selain campur tangan Tuhan tentunya. Tapi, kali ini saya kira simpan dulu Tuhan di surga. Kita bicara UKSW dari sisi peran manusia-manusia itu saja dulu. Sebab, tanpa kita bicarakan pun Tuhan tidak akan tinggalkan UKSW. Itu yang saya secara pribadi percayai.

Nah, tentang peran manusia-manusia di UKSW. Ide yang tentu tidak bisa dianggap remeh untuk dipikirkan. Jika mau berpikir tentang peran tersebut, maka pertanyaanya: Siapa saja manusia-manusia itu? lalu peran yang seperti apa? Bagaimana peran itu dilakoni? Juga mengenai: apa dampak peran itu bagi UKSW sendiri? Masih banyak lagi pertanyaan lain tapi tidak perlu serakah dengan banyak pertanyaan. Fokus saja dulu menemukan jawaban beberapa pertanyaan yang sudah ada.

Mari saya ajak melihat sebenarnya siapa saja manusia-manusia itu?

Kalau mau jujur manusia-manusia itu gampangnya seluruh sivitas akademika UKSW. Mau itu dari setiap Mahasiswa UKSW, dosen, pegawai, sampai kepada Rektor dan Pembantu-pembantunya, ya itulah yang disebut manusia-manusia UKSW. Tanpa terkecuali semua sivitas akademika dapat disebut demikian, yaitu sebagai manusia UKSW.

Tetapi dari suatu kenyataan yang seolah biasa saja dan semua orang sudah tahu siapa manusia-manusia UKSW itu, ada hal menarik yang perlu disadari. Hal itu adalah manusia-manusia UKSW tidak homogen. Rupa dan bentuknya bermacam-macam. Latar belakangnya apalagi, serba majemuk. Gaya bicara sampai gaya makan saja sudah berbeda. Ada yang suka bicara dengan suara seolah mulutnya dilengkapi amplifire tapi ada juga yang kalau ngomong nyaris berbisik sampai-sampai yang mendengarkannya harus melekatkan telinga dekat-dekat ke mulut si Pembicara. Ada yang makannya sedikit saja dan merasa sudah kenyang. Ada yang kalau tidak makan porsi double maka dikira itu belum makan namanya. Tipe yang terakhir saya salah satunya. Luar biasa “aneh-aneh” memang kenyataan heterogenya manusia UKSW.

Kalau saja sudah begitu rupa heterogenya manusia-manusia UKSW tentu harus dapat terima juga kenyataan bahwa UKSW tidak memiliki keseragaman berpikir pada satu ide saja. Kalau secara fisik dan segala yang terlihat saja sudah begitu berbeda maka sudah pasti cara pikirnya berbeda-beda juga. Cara pikir yang berbeda-beda itu sebenarnya membuat UKSW hidup dalam kekayaan cara pikir. Dalam kekayaan berpikir itu juga tentu ada yang bisa sependapat dan sebaliknya sama sekali berbeda pendapat.

Manusia-manusia UKSW tersebut dalam mengaktualisasikan keberadaanya acap kali mencari manusia yang seselera, sepikir, sepemahaman, setuju dengan dirinya. Dalam kenyataan kekayaan berpikir itu manusia UKSW melakukan upaya untuk mencari manusia UKSW lain yang dapat diseragamkan dengan dirinya pada satu atau dua hal. Hal itu yang kemudian membidani lahirnya kelompok-kelompok tertentu di UKSW.

Dalam hal ini maka pertanyaan bagaimana peran manusia-manusia itu dilakoni, terjawab sudah. Peran itu dilakoni salah satunya melalui keterlibatanya dalam kelompok-kelompok tertentu di UKSW. sekaligus juga dalam keterlibatan itu manusia-manusia UKSW memainkan peran sesuai dengan kedudukan dan fungsinya seturut dengan kehadiranya pada kelompok itu.
Apa saja kelompok itu? Banyak, begitu banyak! Sebut saja kelompok rektorat, kelompok senator, kelompok 14 fakultas, kelompok program studi, kelompok mahasiswa, kelompok dosen, kelompok pegawai, kelompok diskusi, kelompok rekan bermain, kelompok bakat dan minat, kelompok manusia-manusia lembaga kemahasiswaan, kelompok politik. Ups, nanti dulu. Apa memang ada kelompok yang terakhir di UKSW? Saya sendiri berpendapat, jika tidak diakui maka hanya ada dua kemungkinan: pertama, hanya manusia-manusia UKSW yang munafik yang tidak mau mengaku bahwa di UKSW ada kelompok politik. Kedua, hanya manusia-manusia UKSW yang tidak benar-benar mengamati dan perduli UKSW yang tidak mengaku bahwa di UKSW ada kelompok politik. Jadi, kelompok politik di UKSW memang ada. Apabila tidak setuju dengan saya, coba saja buktikan terbalik.

Saya rasa naif jika mengingkari keberadaan kelompok politik di UKSW. Kelompok politik di UKSW adalah konsekuensi logis dari kenyataan heterogen-nya manusia-manusia UKSW. Tidak mungkin tidak bahwa tidak ada manusia-manusia UKSW yang suka berpolitik. Juga tidak mungkin tidak dalam kesukaan itu dia tidak mencari manusia-manusia UKSW yang sama suka berpolitik dengan dirinya.

Buktinya? Sudah bukan rahasia umum kalau banyak manusia-manusia UKSW menuding bahwa John Titaley itu suka berpolitik. Dalam kesukaan John Titaley berpolitik itulah kawan-kawannya muncul. Sudah saya tuliskan dibagian atas bahwa pasti ada satu atau dua orang yang pikirannya mirip-mirip John Titaley. Bahkan juga pikiran bisa sama sekali setuju dengan John Titaley. Jadilah kelompok politik John Titaley Cs.

Kemudian, apa hanya John Titaley yang suka berpolitik di UKSW? ternyata tidak. Meskipun sama-sama suka berpolitik tetap ada manusia-manusia UKW yang tidak sepaham atau sama sekali tidak mau setuju dengan John Titaley. Kenyataan itulah yang kemudian melahirkan kelompok politik yang melawan kelompok John Titaley. Memangnya ada? baca saja berita-berita tentang upaya menjegal John Titaley menjadi Rektor pada tahun 2009 itu salah satu contohnya.
Sekarang minimal di UKSW hidup dua kelompok politik yang besar yaitu kelompok John Titaley dan kelompok lawan-lawanya. Kebetulan saja tanggal 30 November 2013, saat Dies Natalis ke 57 UKSW yang lalu kembali John Titaley terpilih sebagai Rektor UKSW untuk ketiga kalinya. Saya sisipkan ucapan selamat kepada Prof. Pdt. Drs. John A. Titaley, Th.D untuk hal itu. Kembali lagi, bahwa dua kelompok itu ada dan hidup meski secara kasat mata tidak nampak dalam pengamatan manusia-manusia UKSW yang lain.

Memang saya sendiri bertanya apakah memang hanya dua kelompok itu saja. Akan tetapi saya berpikir bahwa pembahasan pada kedua kelompok itu saja sama artinya dengan mulai terjawab pertanyaan terakhir mengenai dampak keberadaannya bagi UKSW. Hemat saya bahwa kedua kelompok ini sebenarnya memainkan peran yang berdampak besar bagi UKSW.

Dampaknya? Positif? Ya bisa juga. Negatif? Mungkin yang ini lebih dominan. Mengapa demikian? Sebab hal itu dapat dirasakan dalam energi dua kutub itu yang tercipta dalam kehidupan dan perkembangan UKSW. Bahwa saya menilai UKSW kini berada dalam kungkungan energi negatif yang terlampau besar melebihi energi positif/ dampak positif. Buktinya apa? Buktinya sederhaha, jika anda pernah masuk dalam kelas dan mendapati ada dosen tertentu yang menjelek-jelekan Rektor sampai-sampai jam mengajarnya hampir dihabiskan untuk curhat tentang kebencianya kepada Rektor, maka itu bukti konkrit. Atau di Fakultas saya, sering dosen Perjanjian Baru kami menyinggung gesekan-gesekan politik di UKSW melalui cerita dan plesetan ketika mengajar. Tapi uniknya manusia UKSW yang satu ini suka menggunakan perumpamaan. Kadang untuk menyinggung Rektor, dia memberi nama ada Rektor Yohanes di suatu kampus, bla… bla… bla… Dosen itu mengira kami ini orang bodoh rupanya yang tidak sedang paham benar apa cerita tidak penting yang sedang dia khotbahkan. Ini juga contoh yang sering kali muncul. 

Dampak negatif yang begitu besar adalah apakah memang gesekan politik yang membuat manusia-manusia UKSW saling suka tidak suka itu harus dibawa ke dalam kelas? Kegoblokan semacam itu haruskah diajarkan kepada manusia-manusia UKSW lainya (baca: mahasiswa)? Dalam hal ini dampak negatif itu mengakar kuat. Apalagi kalau asupan informasi negatif itu ditelan mentah-mentah oleh manusia-manusia UKSW yang intelek tapi pekok. Makin negatif-lah energi yang muncul di UKSW.

Lebih celaka lagi energi negatif itu sudah berubah wujud dalam kategori-kategori yang makin khusus bentuknya. Sudah menjelma menjadi rasa benci, menjelma menjadi rasa curiga, menjelma menjadi ambisi untuk saling menjatuhkan, dan bahkan menjelma menjadi upaya untuk saling mengalahkan apapun caranya! Saya sendiri kemudian prihatin ketika menyadari hal itu. Saya membantin apakah memang UKSW harus diselenggarakan dengan kondisi demikian?

Hal itu yang juga menyebabkan jika di UKSW dari waktu ke waktu manusia-manusianya kerjanya berkelahi saja. Bukan dalam artian kontak fisik seperti terjadi saat Ontran-ontran 93’-95’ yang memiluhkan itu. Kita tidak lagi saling berduel fisik tetapi kebencian yang ada dalam hati melebihi kesakitan secara fisik. Kita tidak membunuh nyawa orang lain tapi kita selalu berusaha mematikan karakter orang lain. Mau diakui atau tidak tapi saya menyatakan bahwa hal ini yang hingga sekarang terjadi di UKSW.

Kehadiran kelompok politik seperti yang pro John Titaley dan yang kontra John Titaley sebenarnya tidak banyak membantu membangun UKSW jika sikapnya dalam berpolitik masih kekanak-kanakan seperti itu. Tidak setuju dengan John Titaley maka sepakat tidak mau ikut Rapat Senat Universitas. Sikap macam apa itu! Tidak pantas diteladani! Padahal kehadiran di Rapat Senat bukan sekedar datang melawan John Titaley, tetapi membawa aspirasi hidup dari konstituenya di unit yang diwakilinya berikut seluruh masalah yang terjadi yang butuh untuk segera diselesaikan.

Juga kelompok John Titaley yang sekarang sedang dipercayai Tuhan memimpin. Tidak bisa juga donk menganggap bahwa lawan kelompok mereka adalah pada kedudukan serba salah. Itu sebuah kemustahilan jika kelompok Titaley yang paling benar dan lawanya selalu salah. Pada saat tertentu kelompok Titaley bisa benar tetapi pada saat lain kelompok Titaley juga bisa keliru. `Begitu juga sebaliknya. Tidak mungkin setiap manusia UKSW yang berada dalam kelompok Titaley adalah manusia yang selalu benar. Bukan tidak mungkin mereka juga tidak berbeda jauh dengan tipikal lawan-lawan mereka. Selagi mereka masihlah manusia biasa mereka sudah tentu bisa keliru. Tidak mungkin juga lawan kelompok Titaley selalu yang paling benar. Sama halnya dengan kemungkinan manusia-manusia UKSW pada kelompok Titaley bisa keliru, mereka juga bisa. Nah, dalam kenyataan itu patutkah salah satu atau bahkan keduanya memutlakan dirinya sebagai yang benar?

Hemat saya tidak patut satu atau bahkan keduanya memutlakan kebenaran sendiri. Silang pendapat itu wajar dan biasa saja. Bukan sesuatu yang luar biasa,  namun bukan berarti layak mengklaim kebenaran sendiri.
Apa yang diperjuangkan oleh masing-masing kelompok tentu memiliki dasar yang kuat. Namun bagi saya perlu diperiksa juga perjuangan itu berada dalam kemurnian usaha bagi kemajuan UKSW atau bukan. Jika misalnya perjuangan mati-matian menjaga agar UKSW tetap pada ideal-idealnya (ini perjuangan yang sangat mulia menurut saya) sebenarnya hanya tameng untuk menutupi agenda pribadi atas nama perjuangan itu, hal itu tentu memalukan. Hal lain ialah perlu juga untuk direfleksikan apakah dalam menuding kelompok lain salah, justru kelompok lainya sudah melakukan kebenaran? Atau malah setali tiga uang. Menunjuk yang lain pencuri tetapi tanpa banyak orang tahu dia juga maling. Ini kan juga memalukan.
Di atas semua itu, saya memandang bahwa tembok pemisah antar kelompok apapun di UKSW harus diruntuhkan. Kampus ini bukan milik satu orang atau salah satu kelompok. Seperti yang Pak Noto katakan bahwa “Kampus ini milik Tuhan.” Jangan kita rusak UKSW yang hanya dititipkan kepada kita dengan tindakan kekanak-kanakan dan konyol. Sudah terlalu lama UKSW dibesarkan dengan rasa benci akibat tembok-tembok yang memisahkan manusia UKSW satu sama lain.
Di UKSW bagi saya, baik kelompok Titaley, lawan kelompok Titaley, ataupun kelompok di luar kedua kelompok itu adalah kotak-kotak suara yang ada dan hidup. Kotak-kotak suara itu tidak boleh sesekali ditutup oleh siapapun. Kotak-kotak itu harus dibuka dan didengarkan gaungnya! Jangan pura-pura tuli!
Setuju atau tidak itu bisa dibicarakan dalam kehangatan kasih untuk menemukan jalan bersama. Yang berkuasa perlu mendengar yang dikuasai sekalipun itu tidak sejalan. Yang dikuasai peru memberikan sikap saling menghargai dan menggunakan jalur yang benar dalam menyampaikan aspirasinya. Bukan dengan tindakan tidak bertanggungjawab misalnya menghasut manusia-manusia UKSW lainya (baca: Mahasiswa secara khusus).
Mari belajar dari kasus Akil Mocthar dalam menangani kasus PILKADA Kabupaten Sumba Barat Daya. Sesungguhnya kasus ini tidak sama tapi mirip-mirip. Suara orang-orang Sumba Barat Daya dalam kotak itu berteriak berisikan kebenaran yang benar-benar benar tapi diabaikan. Sekarang lihat dalam upaya penuh kebohongan dengan tidak membuka kotak suara itu akhirnya Akil Mocthar mendapat getahnya. Apalagi karena kasus itu ada air mata dan darah yang tumpah!
Jangan sampai UKSW juga menutup kotak-kotak suaranya. Sebab, suka tidak suka perlu diakui bahwa manusia-manusia UKSW dalam kotak-kota suara UKSW itu juga turut mencucurkan keringat dan air mata serta bekerja dengan sepenuh tumpah darah untuk UKSW. Sekalipun, ya, kadang-kadang mereka berbuat keliru juga. Tetapi bukankah siapa saja yang berdosa mau diampuni Tuhan? Apa ia manusia yang diampuni Tuhan tidak mau mengampuni sesamanya?
Kembali lagi saya tuliskan bahwa UKSW sudah terlalu lama dibesarkan dalam kebencian. Hal itu bukanlah sikap yang bisa dipertanggungjawabkan kepada Tuhan yang adalah pemilik UKSW. Sungguh keterlaluan jika kampus Kristen dibesarkan tanpa kasih sama sekali ataupun ada kasih tetapi kasih yang hanya untuk ‘sesama-nya’ saja.
Kampus ini akan semakin kerdil juga tertinggal jika manusia-manusianya hanya sibuk membesarkan diri sendiri. Kampus ini tidak akan berkembang secara maksimal jika satu dengan yang lainya hanya sibuk saling tikam-menikam membunuh karakter. Kampus ini akan terus berkurang mendapat berkat Tuhan karena tidak memberikan kesaksian tentang Kasih sebab dibesarkan dalam kebencian.

Albert Josua Putra Maliogha- Mahasiswa Fakultas Teologi UKSW.

Related Posts:

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Pages

Pengikut Blog

Profil Josua Maliogha

Diberdayakan oleh Blogger.

Daftar Negara Pengunjung

free counters

Sponsor