Minggu, 09 Februari 2014

Mendidik dengan teladan: Benih Humanisasi dalam Pendidikan

Mendidik sejauh dijelaskan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Elektronik-Offline) berarti “memelihara dan memberi latihan berupa ajaran, tuntunan, pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran.” Cukup menarik pengertian yang termuat dalam kamus, sebab ternyata mendidik sebagai kata kerja memiliki muatan tanggungjawab yang sangat serius! Bagaimana tidak, mendidik dipahami sebagai tindakan-tindakan yang ujung muaranya ditujukan demi mencapai dua aspek penting dalam hidup. Kedua aspek tersebut sebagai tertulis diatas ialah ahklak dan kecerdasan pikiran.
Jika dalam tulisan singkat ini akan dibahas bagaimana pentingnya memahami implikasi dari pilihan untuk mendidik, maka sebelum itu tidak salah juga apabila terlebih dahulu dipahami apa masalah utama yang membuat muatan tanggung jawab dari mendidik penting untuk dibicarakan.
Ada bahaya laten dalam dunia pendidikan dimana proses mendidik dilakukan yang samar tidak disadari. Tentu tidak disadari sebab ini adalah ancaman yang laten namun juga sekaligus nampak terjadi setiap waktu. Bahaya laten itu ialah ketidakmampuan pendidik melaksanakan tugas mendidik menurut ukuran definisi diatas. Pendidik dalam proses mendidik, sejauh yang ditemukan, menciptakan produk dari proses pendidikan yang cacat. Mengapa cacat? sebab dari dua aspek yang menjadi muatan yang idealnya dicapai seluruhnya, biasanya hanya salah satu yang diutamakan. Ya, dalam realita kegiatan mendidik di Indonesia, secara khusus di Perguruan Tinggi tempat saya belajar misalnya, mahasiswa (sebagai contoh) hanya diarahkan untuk menjadi manusia yang berpikiran cerdas. Inilah bukti bagaimana mendidik tidak dilakukan dengan penuh kejujuran dan dedikasi yang tinggi demi memanusiakan manusia.
Lebih dalam lagi pembahasan ini, masalah yang terjadi memang harus dipahami dan diteliti dengan utuh. Keutuhan dalam memahami masalah penting dalam mencari jalan keluar atas masalah itu sendiri. Namun, sedikit ingin dibahas secara sederhana masalah apa yang menjadi latar belakang sehingga muncul produk cacat tadi. Ialah ketidakmampuan pendidik untuk mendidik dengan memberikan teladan hidup. Pendidikan menjadi personal dengan pesona akademisi yang menempatkan mimbar akademik dalam euforia yang berlebihan, membawa pendidikan dalam fantasi yang imajiner - ilmu menjadi menara gading, mengisi otak nara didik dengan konsep-konsep dan teori yang serba “wah,” lalu kemudian semua itu berhenti disitu. Pertanyaan besar yang perlu diajukan ialah “sudahkan anda, sebagai pendidik, melakukan semua omong kosong yang anda katakan itu?” Jika belum lalu mengapa anda meminta nara didik untuk menjadi pribadi yang sangat ideal sesuai dengan konsep-konsep, teori-teori, yang anda berikan.
Ditempat dimana saya menuntut ilmu dan dididik, keadaan ini sangat jelas (tidak kabur sama sekali) terjadi. Begitu banyak pendidik (baca: Dosen) yang tidak mampu mendidik nara didik (baca: Mahasiswa) dengan “utuh.” Para pendidik itu dalam pandangan saya, jauh dari pada tindakan reflektif tentang apa hakikatnya berada sebagai pendidik. Sebut saja masalah orientasi hidup menjadi salah satu faktor yang menyebabkan kecacatan itu harus terjadi. Orientasi hidup pada kekuasaan misalnya, menyebabkan pendidik memanipulasi kebenaran sehingga banyak orang yang disesatkan. Padahal secara akademis pendidik tersebut memiliki kualifikasi gelar akademis Doktor, Master, bahkan juga Guru Besar/ Profesor. Hanya demi mencapai suatu kedudukan yang menyediakan akses terhadap dominasi kekuasaan, seorang akademisi merendahkan martabatnya sebagai seorang yang telah “dididik” dengan tidak segan berbohong. Saya mendapati kabar bahwa beberapa Profesor sering berbohong.
Kontrakditif, memang benar demikian. Jikalau dikelas pendidik dengan berapi-api mengkampanyekan pendidikan karakter, pentingnya integritas diri, kemudian dikesempatan yang lain tidak segan untuk berbohong, lalu apa yang bisa dilakukan oleh nara didik? Mencontoh sikap yang tidak jujur seperti itukah? Padahal mahasiswa diajarkan menjadi seseorang yang cerdas secara kognitif (misalnya menentukan pilihan etis: seharusnya mengedepankan kebenaran, kebaikan, dan keadaan yang tepat). Namun sayang beribu sayang, pendidik hanya mengajarkan nara diidik untuk cerdas secara kognitif tetapi tidak mengarahkan mahasiswa untuk cerdas secara afektif, apalagi membuat mahasiswa mampu cerdas secara psikomotorik. Pendidik hanya pintar dalam bermain-main dengan teori keilmuan tetapi nol besar dalam melalukan apa yang dipahaminya secara sadar harus dilakukan.
Kembali pada topik bahaya laten, kini nampak kian jelas apa yang kabur dari bahaya laten tersebut. Bahaya dari pendidikan yang proses mendidiknya tidak benar ialah “produk cacat” tadi. Nah, pangkal munculnya produk cacat itu ialah karena masalah sepeleh yaitu, Pendidik tidak mampu memberikan teladan bagi nara didik. Padahal jika berbicara mengenai pembentukan ahklak yang mulia, tidak cukup dengan bicara pada tataran ruang hampa yang dimana konsep-konsep dan teori-terori duduk manis disana. Perlu ada tindakan nyata yang memberi gambaran jelas dalam bentuk dan sifat sehingga nara didik paham benar apa itu nilai hidup, bagaimana melakukanya. Kembali lagi, jika seorang Profesor saja tidak segan bahkan memelihara tabiat berbohong, maka sesungguhnya dia tidak layak mendidik nara didik. Sebab tidak ada teladan yang bisa diambil sebagai bagian menjadikan pribadi nara didik menjadi pribadi yang benar menjadi manusia yang berakhlak mulia.
Untuk itu sebagai pendidik yang melakukan tindakan mendidik, marilah dengan sadar benar dan penuh tanggungjawab melaksanakan proses ini dengan sebaik-baiknya, sebenar-benarnya, demi memanusiakan semua manusia. Jangan reduksi peran nilai-nilai hidup yang sesungguhnya merupakan tujuan yang ingin dicapai dari tindakan mendidik tersebut. Cerdaskan nara didik dengan pisau akademis tetapi siapkan juga akhlak mereka sehingga mereka paham benar untuk apa ilmu itu bagi kehidupan. Akibatnya, melalui memberikan teladan kita semua sedang memanusiakan Manusia dan bukan membinatangkanya, sebab manusia tidak hidup hanya dengan kecerdasan logika saja tetapi juga butuh kepekaan hati nurani.
Semoga berguna.

Related Posts:

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Pages

Pengikut Blog

Profil Josua Maliogha

Diberdayakan oleh Blogger.

Daftar Negara Pengunjung

free counters

Sponsor