Mendidik sejauh dijelaskan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Elektronik-Offline)
berarti “memelihara dan memberi latihan berupa ajaran, tuntunan,
pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran.” Cukup menarik
pengertian yang termuat dalam kamus, sebab ternyata mendidik sebagai
kata kerja memiliki muatan tanggungjawab yang sangat serius! Bagaimana
tidak, mendidik dipahami sebagai tindakan-tindakan yang ujung muaranya
ditujukan demi mencapai dua aspek penting dalam hidup. Kedua aspek
tersebut sebagai tertulis diatas ialah ahklak dan kecerdasan pikiran.
Jika dalam tulisan singkat ini akan dibahas bagaimana pentingnya
memahami implikasi dari pilihan untuk mendidik, maka sebelum itu tidak
salah juga apabila terlebih dahulu dipahami apa masalah utama yang
membuat muatan tanggung jawab dari mendidik penting untuk dibicarakan.
Ada bahaya laten dalam dunia pendidikan dimana proses mendidik dilakukan
yang samar tidak disadari. Tentu tidak disadari sebab ini adalah
ancaman yang laten namun juga sekaligus nampak terjadi setiap waktu.
Bahaya laten itu ialah ketidakmampuan pendidik melaksanakan tugas
mendidik menurut ukuran definisi diatas. Pendidik dalam proses mendidik,
sejauh yang ditemukan, menciptakan produk dari proses pendidikan yang
cacat. Mengapa cacat? sebab dari dua aspek yang menjadi muatan yang
idealnya dicapai seluruhnya, biasanya hanya salah satu yang diutamakan.
Ya, dalam realita kegiatan mendidik di Indonesia, secara khusus di
Perguruan Tinggi tempat saya belajar misalnya, mahasiswa (sebagai
contoh) hanya diarahkan untuk menjadi manusia yang berpikiran cerdas.
Inilah bukti bagaimana mendidik tidak dilakukan dengan penuh kejujuran
dan dedikasi yang tinggi demi memanusiakan manusia.
Lebih dalam lagi pembahasan ini, masalah yang terjadi memang harus
dipahami dan diteliti dengan utuh. Keutuhan dalam memahami masalah
penting dalam mencari jalan keluar atas masalah itu sendiri. Namun,
sedikit ingin dibahas secara sederhana masalah apa yang menjadi latar
belakang sehingga muncul produk cacat tadi. Ialah ketidakmampuan
pendidik untuk mendidik dengan memberikan teladan hidup. Pendidikan
menjadi personal dengan pesona akademisi yang menempatkan mimbar
akademik dalam euforia yang berlebihan, membawa pendidikan dalam fantasi
yang imajiner - ilmu menjadi menara gading, mengisi otak nara didik
dengan konsep-konsep dan teori yang serba “wah,” lalu kemudian semua itu
berhenti disitu. Pertanyaan besar yang perlu diajukan ialah “sudahkan
anda, sebagai pendidik, melakukan semua omong kosong yang anda
katakan itu?” Jika belum lalu mengapa anda meminta nara didik untuk
menjadi pribadi yang sangat ideal sesuai dengan konsep-konsep,
teori-teori, yang anda berikan.
Ditempat dimana saya menuntut ilmu dan dididik, keadaan ini sangat jelas
(tidak kabur sama sekali) terjadi. Begitu banyak pendidik (baca: Dosen)
yang tidak mampu mendidik nara didik (baca: Mahasiswa) dengan “utuh.”
Para pendidik itu dalam pandangan saya, jauh dari pada tindakan
reflektif tentang apa hakikatnya berada sebagai pendidik. Sebut saja
masalah orientasi hidup menjadi salah satu faktor yang menyebabkan
kecacatan itu harus terjadi. Orientasi hidup pada kekuasaan misalnya,
menyebabkan pendidik memanipulasi kebenaran sehingga banyak orang yang
disesatkan. Padahal secara akademis pendidik tersebut memiliki
kualifikasi gelar akademis Doktor, Master, bahkan juga Guru Besar/
Profesor. Hanya demi mencapai suatu kedudukan yang menyediakan akses
terhadap dominasi kekuasaan, seorang akademisi merendahkan martabatnya
sebagai seorang yang telah “dididik” dengan tidak segan berbohong. Saya
mendapati kabar bahwa beberapa Profesor sering berbohong.
Kontrakditif, memang benar demikian. Jikalau dikelas pendidik dengan
berapi-api mengkampanyekan pendidikan karakter, pentingnya integritas
diri, kemudian dikesempatan yang lain tidak segan untuk berbohong, lalu
apa yang bisa dilakukan oleh nara didik? Mencontoh sikap yang tidak
jujur seperti itukah? Padahal mahasiswa diajarkan menjadi seseorang yang
cerdas secara kognitif (misalnya menentukan pilihan etis: seharusnya
mengedepankan kebenaran, kebaikan, dan keadaan yang tepat). Namun sayang
beribu sayang, pendidik hanya mengajarkan nara diidik untuk cerdas
secara kognitif tetapi tidak mengarahkan mahasiswa untuk cerdas secara
afektif, apalagi membuat mahasiswa mampu cerdas secara psikomotorik.
Pendidik hanya pintar dalam bermain-main dengan teori keilmuan tetapi
nol besar dalam melalukan apa yang dipahaminya secara sadar harus
dilakukan.
Kembali pada topik bahaya laten, kini nampak kian jelas apa yang kabur
dari bahaya laten tersebut. Bahaya dari pendidikan yang proses
mendidiknya tidak benar ialah “produk cacat” tadi. Nah, pangkal
munculnya produk cacat itu ialah karena masalah sepeleh yaitu, Pendidik
tidak mampu memberikan teladan bagi nara didik. Padahal jika berbicara
mengenai pembentukan ahklak yang mulia, tidak cukup dengan bicara pada
tataran ruang hampa yang dimana konsep-konsep dan teori-terori duduk
manis disana. Perlu ada tindakan nyata yang memberi gambaran jelas dalam
bentuk dan sifat sehingga nara didik paham benar apa itu nilai hidup,
bagaimana melakukanya. Kembali lagi, jika seorang Profesor saja tidak
segan bahkan memelihara tabiat berbohong, maka sesungguhnya dia tidak
layak mendidik nara didik. Sebab tidak ada teladan yang bisa diambil
sebagai bagian menjadikan pribadi nara didik menjadi pribadi yang benar
menjadi manusia yang berakhlak mulia.
Untuk itu sebagai pendidik yang melakukan tindakan mendidik, marilah
dengan sadar benar dan penuh tanggungjawab melaksanakan proses ini
dengan sebaik-baiknya, sebenar-benarnya, demi memanusiakan semua
manusia. Jangan reduksi peran nilai-nilai hidup yang sesungguhnya
merupakan tujuan yang ingin dicapai dari tindakan mendidik tersebut.
Cerdaskan nara didik dengan pisau akademis tetapi siapkan juga akhlak
mereka sehingga mereka paham benar untuk apa ilmu itu bagi kehidupan.
Akibatnya, melalui memberikan teladan kita semua sedang memanusiakan
Manusia dan bukan membinatangkanya, sebab manusia tidak hidup hanya
dengan kecerdasan logika saja tetapi juga butuh kepekaan hati nurani.
Semoga berguna.
Minggu, 09 Februari 2014
Related Posts:
Apakah Tuhan membuat manusia? Ataukah manusia membuat tuhan? Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE MicrosoftIntern… Read More
Kotak-Kotak Suara UKSW Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE … Read More
Mendidik dengan teladan: Benih Humanisasi dalam PendidikanMendidik sejauh dijelaskan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Elektronik-Offline) berarti “memelihara dan memberi latihan berupa ajaran, tuntunan, … Read More
Namanya Juga Baru Belajar" Suatu Pembodohan Terstruktur di Indonesia “Namanya juga baru balajar!”, ialah sebuah ungkapan apologetika dalam hemat saya. Sebuah ungkapan pembelaan dan pembenaran akan sesuatu yang mungk… Read More
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Popular Posts
-
Kritik Aparatus Teks Guna memeriksa teks ini saya menggunakan data aparatus pada Alkita...
-
“Bukan Yesus yang Saya Kenal” : Philip Yancey Bagian Satu: Siapa Dia o Yesus yang saya kira saya kenal. Pertama kali Yancey m...
-
GEREJA DALAM PERJANJIAN BARU Pada tulisan singkat ini saya akan memaparkan beberapa pokok-pokok pemikiran berkaitan dengan topik ...
-
Bagaimana anda menghubungkan antara visi, misi, kharisma, dan strategi-strategi dalam konkteks kepemimpinan yang melayani? Dalam ko...
-
Berpikir secara kritis pada dewasa ini merupakan suatu kemampuan dan kecakapan yang wajib dimiliki. Suatu kemampuan dan kecakapan yang sanga...
-
“Namanya juga baru balajar!”, ialah sebuah ungkapan apologetika dalam hemat saya. Sebuah ungkapan pembelaan dan pembenaran akan sesuatu y...
-
Dalam cerita tradisi secara biblis kita tentu tidak asing lagi dengan cerita tentang Yusuf yang handal dalam menafsirkan mimpi bahkan menj...
-
Sebelum pembaca sekalian membaca hasil tafsir sosio-historis ini, sangat saya anjurkan untuk terlebih dahulu untuk membaca tulisan mengenai...
-
Pengantar Jawaban atas pertanyaan seperti pada judul tulisan ini oleh sebagian orang dipercayai telah disediakan dengan memadai oleh ke...
-
Manusia merupakan insan dengan tiga pembentuk formasi hidup. Memiliki raga, jiwa, dan roh yang masing-masing aspeknya punya kebutuhan m...
Pages
Pengikut Blog
Profil Josua Maliogha
Blog Archive
- Desember 2014 (2)
- Mei 2014 (1)
- Februari 2014 (2)
- Mei 2013 (1)
- Desember 2012 (1)
- Oktober 2012 (1)
- Juli 2012 (2)
- Juni 2012 (2)
- Juli 2011 (1)
- Januari 2011 (2)
Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar